Senin, 20 Desember 2010

CERPEN

Mejikuhibiniu

Petang ini, megah merah tidak tampak di langit. Matahari tertutupi awan hitam sehingga cahaya yang biasanya terlihat memenuhi langit petang di musim kemarau tidak tampak. Ini mungkin salah satu dampak Global Warming. Hari ini, kesekian kalinya aku terlambat pulang ke rumah. Bukan karena lama magang di jalan atau pun lama bercengkrama dengan sesama tapi karena daerah menuju rumahku yang masih terbilang sebagai daerah pinggiran kota juga mulai macet. Bahkan om polisi belum mampu mengatasi kemacetan yang ada.

Jam putih bertali hitam di tangan kananku telah menunjukkan pukul 17.30 WITA. Hari sudah mulai gelap, matahari kini sudah bersembunyi. Pandanganku juga sudah mulai buram karena asap motor dan cahaya kuning dari lampu jalanan dan kendaraan. Sebagai pemanis, lampu lalu lintas bergantian muncul, kuning, merah, hijau, mungkin kalau ada warna biru bukan lampu lalu lintas namanya tapi lampu pelangi.

Aku berada tepat di tengah-tengah kemacetan dengan kaos oblong hitam dan celana jeans hitam pula, menambah kegelapkan diriku saat itu, tapi dengan corak motor putih beat, scrap putih dan kaos tangan putih sedikit memberi warna di petang itu. Di tengah kemacetan ini, pikiran ku melayang jauh ke masa lalu, mengingat semua hal-hal yang telah lama ku lupakan.

* * *

Tiga tahun yang lalu, saat cinta sedang bermekaran di hatiku, saat rasa sayang sedang bertebaran ke semua orang, dan hidup seperti perempuan normal yang ingin dicintai dan berhak mencintai. Hari itu, Adam laki-laki populer dan pintar menggungkapkan perasaannya padaku. Adam berkata padaku

“ Ku tak perlu emas, ku tak butuh berlian dan ku tak menginginkan permata mahal. Aku hanya ingin bisa memiliki, melindungi, menjaga, membahagiakan, orang yang ada di hadapanku”. Adam agak menarik nafas dan melanjutkan kata-katanya.” Wanita biasa tapi yang luar biasa di hatiku, wanita sederhana tapi mewah di mataku, berkepribadian aneh tapi unik dihadapanku”. Tatapan begitu dalam menatap jauh ke dalam mataku. Namun, kata-kata gombalannya hanya menggelitik cacing-cacing di perutku. Mungkin itu rasanya digombalin sama lelaki yang tidak dicintai. Yupz, secara sukarela dan ikhlas aku menolak Adam walaupun dia berlatar belakang yang menjanjikan kebahagiaan masa depan tapi sudah ada seseorang yang mengisi hatiku.

Di hari yang sama, aku melakukan hal yang sama dengan Adam. Aku menyatakan cinta kepada orang yang kucintai, lelaki bertubuh semapan, rambut agak berantakan, bertubuh kurus berkulit putih dan dengan jakun yang agak menonjol. Lelaki yang ku cintai dari dua tahun yang lalu. Lelaki yang memberikan semangat dengan senyumannya, mengajariku tentang arti hidup dengan pengalaman-pengalaman hidupnya dan mewarnai hidupku dengan cerita-cerita banyolannya. Itulah Fachriku. Kata-kata yang ku lontarkan kepada Fachri, persis yng dikatakan Adam padaku karena otakku blank saat dihadapannya, dan cuma itu yang terlintas di otakku. Hanya saja ku tamabahkan kalimat terakhir agar lebih menyakinkan perasaanku kepadanya. “ Fachri, aku mencintaimu” kataku penuh harap. Fachri pun angkat bicara tanpa ekspresi.

“ Kamu terlalu baik untukku, terlalu indah, dan terlalu sempurna untuk mendapingi cerita hari-hariku”. Fachri beranjak meninggalkanku tanpa berbalik sekalipun menatap kearahku.

Aku bingumg dengan jawabannya apalagi kata-katanya. Aku tidak tahu, itu penolakan atau apa yang aku tahu, pertama kalinya Fachri meninggalkanku sendiri. Inikah rasanya diposisi Adam, rasanya sakit sekali, perih dan menyesakkan dada.

Sejak hari itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Fachri. Dia bagai hilang di telan bumi. Ku mencoba mencarinya dan memperbaiki semuanya. Aku tidak menginginkan ini, walau hanya sekedar sahabat itu sudah cukup bagiku tapi pencarianku terhenti karena informasiku tentangnya mendapatkan jalan buntu. Dimana kamu Fachri?, bisik hatiku.

* * *

Lama larut dalam lamunan, aku baru tersadar. Jam di tangan kananku sudah menunjukkan pukul 18.00 WITA dan aku belum juga beranjak dari tempatku. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kemacetan berlarut-larut ini, tanpa sadar ternyata helmku agak basa dan begitu juga pakaianku. Ternyata gerimis. Aku menatap langit dan berbisik kecil “Mungkin akan turun hujan deras”. Aku menghela napas, mencoba bersabar menunggu kemacetan ini berakhir dan kembali terdiam dan kembali hanyut dalam lamunan.

* * *

Tanpa Fachri dalam bagian kisah hidupku itu hanya tabu. Tidak ada lagi perasaan yang ku sisakan untuk orang lain, karena telah ku berikan semuanya pada Fachri. Aku pun mulai belajar hidup tanpa cinta, kasih sayang, dan rasa suka, ku kubur semua bersama kenangan Fachri di dasar hatiku agar tidak ada lelaki lain yang mengisinya. Tapi, untuk memenuhi hawa nafsu dan kesepianku, aku rela menjadi orang lain, menjadi seseorang yang berbeda dan masuk ke dunia lain yang ku benci selama ini.

Aku bercumbu dengan orang yang berbeda berulangkali. Bercinta dengan mereka untuk memuaskan jiwaku. Kepuasan dalam diri namun tidak dalam hati. Benar kata guru fisikaku, bila sejenis maka tidak akan menimbulkan daya tarik menarik, namun jika berbeda jenis maka daya tariknya besar. Namun, untuk saat ini teori itu hanya ku anggap sebagai bisikan hidup.

* * *

Pippppppp....Suara klakson mobil Avanza putih membangunkanku dari lamunan. Ternyata sudah mulai jalan, dan ku nyalakan mesin motor dan maju ke depan sekitar 5 meter dan kembali pada posisi awal. Aku pun menghela napas, menatap kosong ke depan.

* * *

Mungkin hidupku sangat salah. Melanggar hukum alam, melanggar ajaran-Nya dan berbelok dari kenyataan tapi aku merasa nyaman dengan begini. Tidak ada rasa cinta yang membingungkan, tidak ada rasa cinta yang sulit dimengerti.

Dua tahun kemudian, Fachri muncul di hadapanku di sebuah taman segitiga di Makassar. Tempat nongkrongku saat suntuk. Wajahnya tidak banyak berubah, tetap lelaki bertubuh semapan, rambut agak berantakan, bertubuh kurus dan dengan jakun yang masih menonjol serta kulitnya terlihat agak gelap dan punggung yang makin lebar. Jaket silver dan kaos biru oblong di dalamnya, celana jeans biru dan sepatu putih menyempurnakan penampilnnya sore itu. Dia menghampiriku dan berdiri persis di hadapanku. Sapaan “Hay..” darinya tak ku balas, aku masih dalam kedaan terkejut. Pikiranku kacau tidak dapat merangkai satu kata pun. Fachri pun angkat bicara lagi.

“Kabarmu baik kan?” tanya Fachri dengan menatapku dalam. Sementara aku masih terdiam membisu.

“Aku rindu denganmu”. Kedipan mataku yang pertama selama semenit.

“Dua tahun ternyata lama tanpa kamu. Maaf dulu tidak pamitan”. Airmataku menetes tidak tertahan. Inginnya aku menghabisi lelaki di hadapanku ini, tapi sebaliknya aku memeluk Fachri sekuat tenaga, melepaskan rasa rindu dalam hatiku. Aku menangis dalam pelukannya dan dia membalas pelukanku dan mulai berbisik di telingaku.

“Maafkaan aku baru menemuimu, maafkan aku tidak pernah mengabarimu selama ini dan maafkan aku karena membuatmu hidup dalam kebingungan. Aku pergi darimu karena ku tak bisa mengakui kalau aku mencintaimu”. Pelukanku makin erat dan tangisanku semakin kencang mendengar kata-kata Fachri.

“Tapi... aku punya alasan mengapa aku pergi dan menjauh darimu. Kenyataan hidupku terlalu menjijikkan dan tidak bisa diterima sebagian orang. Aku.. aku...” kata Fachri yang juga agak terisak.

“Aku adalah seorang gigolo”. Aku terdiam sejenak dan mencerana kalimat terakhir Fachri. Masih dalam pelukannya, Fachri melanjutkan kata-katanya.

“Karena masalah ekonomi keluarga, aku mengambil jalan ini dan aku terbuai dengan kesenangan yang salah, sampai aku lupa akan perasaanku kepadamu. Aku baru sadar ketika kamu menjadi pecinta sesama, maafkan akan kesalahanku.. Maafkan aku...”.Aku melepaskan pelukanku dan mulai angkat bicara.

“Hidup ini sudah ada yang atur” kataku sambil mengusap wajahku yang basah akan air mata. “ Kita tidak bisa mengelak ataupun menghindar dari takdir hidup ini”kataku begitu tegar. Tanpa pamit aku melangkah menjauh dari Fachri seperti yang dilakukan Fachri dua tahun yang lalu padaku.

“Kamu mau kemana?” tanya Fachri setengah berteriak.

“Pergi melanjutkan hidupku, setidaknya aku tahu, dua tahun lalu aku tidak sebenarnya ditolak olehmu dan cintaku tidak bertepuk sebelah tangan” kataku tanpa berbalik badan dan agak tersenyum.

“Kita bisa memperbaiki semuanya, kita mulai dari awal, menjalani hidup normal bersama-sama”. Aku berbalik meghadap Fachri.

“Tidak Fachri, tidak sekarang. Dengan menjadi gigolo, kamu bisa menbantu keuangan keluargamu dan dengan lesbi, aku bisa memenuhi kebutuhanku pula, aku sudah terbiasa hidup seperti ini, dan untuk merubah semuanya, sulit, mungkin tidak seribet kisah-kisah di sinetron tapi tidak mudah merubah kebiasaan yang sudah menjadi kebutuhan kita”kataku, panjang lebar dan pergi dengan senyum di wajahku.

* * *

Hujan bertambah deras, aku pun meninggalkan motorku di tengah kemacetan dan mencari tempat berteduh. Masjid adalah tempat yang aku pilih dan diikuti oleh beberapa orang. Aku melihat lagi jam di tanganku yang telah menunjukkan pukul 18.20 WITA dan waktu shalat magrib telah masuk, aku melirik sebuah cincin perak di jari manis tangan kananku bertuliskan Fachri n Putri. Aku tersenyum menerawang jauh ke langit dan berkata dalam hati.

“ Setelah awan gelap menutupi langit dan turun hujan hari ini, pasti besok pagi akan muncul mejikuhibiniu di langit biru”.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar