Ruang Lingkup Ilmu Politik
Dengan berkembangnya ilmu politik
menjadi disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, beberapa
sarjana ilmu politik berusaha
mencoba mengungkapkan bidang garapan atau ruang lingkup ilmu
politik. Salah satu
di antaranya: Conley H. Dillon
seperti dikutip oleh
Teuku May Rudy,
(1993:18) dalam bukunya “Pengatar Ilmu
Politik, Wawasan Pemikiran dan
Kegunaan” mengungkapkan sembilan
bidang garapan ilmu politik yaitu:
1. Teori Politik
2. Partai-partai politik
3. Administrasi negara
4. Hukum Internasional dan Politik
Internasional
5. Organisasi Internasional
6. Pendapat umum dan Propaganda
7. Perbandingan Politik
8. Pemerintah Pusat dan Daerah
9. Hukum Tata Negara dan Hukum
Internasional.
Sedangkan menurut pendapat Carlton
Clymer Rodee, dkk.
(1988:11-22) mengungkapkan bahwa kajian ilmu politik meliputi:
1. Filsafat Politik
2. Peradilan dan Proses Hukum
3. Proses Eksekutif
4. Organisasi dan Tingkah Laku
Administrasi
5. Politik Legislatif
6. Partai Politik dan kelompok kepentingan
7. Pemungutan suara dan pendapat umum
8. Sosialisasi politik dan kebudayaan
politik
9. Perbandingan politik
10. Pembangunan politik
11. Politik dan organisasi internasional
12. Teori dan Metodelogi Ilmu politik
Defenisi ilmu politik berbeda-beda karena kajian ilmu
politik sangat luas sehingga dalam pendefenisiannya pun masing-masing melihat
dari sudut pandang berbeda. Namun, ilmu politik kajiannya begitu luas
sehingga beragam pendapat tentang bidang telaahan ilmu politik. UNESCO
merumuskan ke dalam 4 (empat) bidang utama dengan 15 (limabelas) , yaitu :
I.
Teori Politik
1.
Teori-teori Politik
2.
Sejarah Pemikiran Politik
II.
Lembaga-lembaga Politik
1.
Undang-undang Dasar
2.
Pemerintahan Nasional
3.
Pemerintahan Daerah
4.
Administrasi Negara
5. Pelaksanaan Fungsi Sosial dan Ekonomi oleh
Pemerintah
6. Perbandingan Pemerintahan dan
Lembaga-lembaga Politik
III.
Partai Politik dan Pendapat
Umum
1.
Partai-partai Politik
2.
Kelompok Kepentingan dan
Kelompok Pendesak
3. Partisipasi Warga Negara dalam Pelaksanaan
Pemerintahan
4.
Pendapat Umum (Opini Publik)
IV.
Hubungan Internasional
1.
Politik Internasional
2.
Administrasi dan Organisasi
Internasional
3.
Hukum Internasional
Dari
pendapat beberapa sarjana politik
di atas terlihat bahwa
ruang lingkup ilmu politik
meliputi bidang-bidang yang
sangat luas. Namun
demikian, pada intinya ilmu
politik dapat meliputi:
1.
Filsafat dan teori politik.
Filsafat politik mencari penjelasan yang berdasarkan
ratio. Ia melihat jelas adanya hubungan antara sifat dan hakekat dari alam
semesta (universe) dengan sifat dan hakekat dari kehidupan politik di dunia
fana ini. Pokok pikiran dari filsafat politik ialah bahwa persoalan-persoalan
yang menyangkut alam semesta seperti metafisika dan epistemology harus
dipecahkan dulu sebelum persoalan-persoalan politik yang kita alami seahri-hari
dapat ditanggulangi. Misalnya menurut filsuf Yunani Plato, keadilan merupakan
hakikat dari alam semesta yang sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai
“kehidupan yang baik” (good life) yang dicita-citakan olehnya. Contoh lain
adalah beberapa karya John Locke. Filsafat politik erat hubungannya dengan
etika dan filsafat sosial.
Teori-teori politik ini tidak memajukan suatu
pandangan tersendiri mengenai metafisika dan epistemology, tetapi berdasarkan
diri atas pandangan-pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu. Jadi, ia
tidak menjelaskan asal-usul atau cara lahirnya norma-norma, tetapi hanya
mencoba untuk merealisasikan norma-norma dalam suatu program politik.
Teori-teori semacam ini merupakan suatu langkah lanjutan dari filsafat politik
dalam arti bahwa ia langsung menetrapkan norma-norma dalam kegiatan politik.
Misalnya, dalam abad ke 19 teori-teori politik banyak membahas mengenai hak-hak
individu yang diperjuangkan terhadap kekuasaan negara dan mengenai sistem hukum
dan sistem politik yang sesuai dalam pandangan itu. Bahasan-bahasan ini
didasarkan atas pandangan yang sudah lazim pada masa itu mengenai adanya hukum
alam (natual law), tetapi tidak lagi mempersoalkan hukum alam itu sendiri.
2.
Struktur dan lembaga-lembaga politik.
Lembaga-lembaga politik merupakan kajian terhadap lembaga-lembaga
politik khususnya peranan konstitusi, eksekutif,
birokrasi, yudikatif,
partai politik dan sistem pemilihan, yang mula-mula
mendorong pembentukan
formal jurusan-jurusan ilmu politik di banyak niversitas
pada akhir abad ke-19
(Miller, 2003: 790). Sebagian besar mereka tertarik pada
penelusuran asal-usul
dan perkembangan lembaga-lembaga politik dan memberikan
deskripsi-deskripsi
fenomenologis; memetakan konsekuensi-konsekuensi formal
dan prosedural dari
institusi-institusi politik.
Banyak para ahli
politik kontemporer yang menghabiskan waktunya untuk
memonitor, mengevaluasi, dan menghipotesiskan tentang
asal-usul,
perkembangan dan konsekuensi-konsekuensi lembaga-lemabag
politik, seperti
aturan-pluralitas sistem pemilihan atau
organisasi-organisasi pemerintahan yang
semu. Namun sebagian lagi mereka kurang toleran dan
mengklaim bahwa mereka
terlibat dalam deskripsi-deskripsi tebal hanya karena
mereka memang ilmuwan
politik yang handal, bukan yang kebanyakan ada.
3.
Partai politik dan organisasi
masyarakat.
Partai-partai, golongan-golongan dan pendapat umum,
banyak memakai konsep-konsep sosiologis dan psikologis dan sering disebut political dymanics oleh karena sangat menonjolkan
aspek-aspek dinamis dari proses-proses politik. Partai politik pertama-tama
lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat
merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses
politik, maka partai politik telah secara spontan dan berkembang menjadi
penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai
politik pada umumnya dianggap sebagai manisfetasi dari suatu sistem politik
yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka
dari itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga
politik yang biasa dijumpai.
Di negara-negara yang menganut paham demokrasi,
gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat
berhak turut menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara-negara
totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite
politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas
yang langgeng. Untuk mencapai itu, partai politik merupakan alat yang baik.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik –(biasanya) denagn cara
konstitusional – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
4.
Partisipasi warga negara.
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan
suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan
sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan tak langsung
– dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan –kegiatan ini mencakup
kegiatan memilih dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti
partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik
seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil
rakyat yang duduk dalam badan itu; berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi,
dan sebagainya. (Kebalikan dari partisipasi adalah apati. Seseorang dinamakan
apatis (secara politik) jika tidak ikut serta dalam kegiatan-kegiatan tersebut
di atas.
Partai politik berbeda dengan kelompok penekan (pressure group)
atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group).
Kelompok ini bertujuan memperjuangkan suatu “kepentingan“ dan mempengaruhi
lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan-keputusan yang menguntungkan
atau menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha
menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup
mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah
atau menteri yang berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan mempunyai
orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik, yang –karena mewakili
pelbagai golongan- lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum. Pun organisasi
kelompok kepentingan lebih kendor dibanding partai politik.
Kelompok – kelompok kepentingan berbeda-beda antara
lain dalam hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya; dan
perbedaan-perbedaan ini sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan
sosial suatu bangsa. Walaupun kelompok-kelompok kepentingan juga diorganisir
berdasarkan keanggotaan, kesukuan, ras, etnis, agama atau pun berdasar
isue-isue kebijaksanaan, kelompok-kelompok kepentingan yang paling kuat, paling
besar, dan secara finansial paling mampu adalah kelompok yang berdasar pada
bidang pekerjaan atau profesi, terutama karena kehidupan sehari-hari dan karier
seseoranglah yang paling cepat dan paling langsung dipengaruhi oleh
kebijaksanaan atau tindakan pemerintah. Kerana itu sebagian besar negara
memiliki serikat buruh, himpunan pengusaha, kelompok petani dan
persatuan-persatuan dokter, advokat, insinyur dan guru.
5.
Hukum dan lembaga-lembaga
internasional.
Hubungan internasional; sebetulnya jika hubungan antar negara merupakan hubungan
internasional, jelas istilah tersebut sangat menyesatkan bagi sebagai disiplin
ilmu politik yang memfokuskan pada hubungan lintas negara dan inter-negara
dalam diplomasi, transaksi ekonomi, serta perang maupun damai. Asal-usul
hubungan internasional terdapat dalam karya para teolog, yang mengajukan
argumen tentang kapan dan bagaimana perang itu dianggap adil, seperti karya
Grotius, Pufendorf, dan Vattel, yang mencoba menyatakan bahwa ada hukum
bangsa-bangsa yang sederajat dengan hokum domestik negara-negara, dan karya karya
para filsuf politik seperti Rousseau dan Kant, yang membahas kemungkinan
perilaku moral dalam perang dan kebutuhan akan tatanan internasional yang
stabil dan adil.
Sub-bidang ilmu
politik ini memfokuskan pada masalah-masalah yang beragam menyangkut
organisasi-organisasi internasional, ekonomi-politik internasional, kajian
perang, kajian perdamaian, dan analisis kebijakan luar negeri. Namun secara
normatif terbagi dalam dua mazhab pemikiran yaitu pemikiran idealis dan
pemikiran realis. Pemikiran idealis mempercayai bahwa negara dapat dan harus
melaksanakan urusan-urusan mereka sesuai dengan hukum dan moralitas serta
kerjasama fungsional lintas batas negara membentuk landasan bagi perilaku
moral. Sedang dalam mazhab realis sebaliknya; mereka percaya bahwa negara pada
dasarnya amoral dalam kebijakan luar negerinya; hubungan antar negara diatur
bukannya oleh kebaikan tetapi kepentingan; perdamaian adalah hasil dari
kekuasaan yang seimbang, bukannya tatanan normative dan kooperatif fungsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar